Kamis, 28 Januari 2021

Aku "Aku" Alter Ego

 Aku "Aku" Alter Ego (23 Tahun 7 Bulan 2 Minggu)

 

Si aku berdiri diujung gang, meminta-minta dengan mata tertutup. Bukan karena tunanetra, hanya sedang berusaha percaya pada apa yang akan menggenggamnya. Akankah uluran tangan yang datang dari para kucing-kucing jalanan ataukah tamparan dari si bengis pesakitan?

 

Entah, tanganku terasa dingin. Sesuatu seakan mencengkram lebih jauh. Terasa tajam, kelam, penuh amarah. Ah, ku yakin si bengis pesakitan. Aku masih tidak juga membuka mata. Dinginku bukan karena suhu yang masuk melainkan suhu yang keluar. Semakin lama semakin kesulitan. Tubuh kaku yang tak lagi berpeluh ini pun seakan dipatahkan. Krek! Satu! Krek! Dua! Krek! Krek! Krek! Krek! Kr.... semakin hilang. Sedang yang aku punya menjadi tiga kali lebih banyak dan tiga kali lebih kecil.

 

Si bengis pesakitan terus memakanku. Seakan-akan aku ini adalah makanannya. Apa benar aku makanannya ataukah aku yang harus memakannya. Bertahan hidup ternyata sesulit ini ya? Makan atau dimakan. Sakit atau disakiti. Tinggal atau ditinggalkan. Benci atau dibenci. Ahh.. Aku hampir habis. Bagaimana bisa aku hidup hanya dengan 316 sisa kecil-kecil? Kurcaci? Tidak-tidak, sepertinya aku harus membuka mata. Apa? Apa aku salah lihat? Kenapa? Kenapa aku salah?

 

Kucing-kucing jalanan yang telah memakanku. Kemana si bengis pesakitan? Bukankah dia yang memakanku? Bagaimana bisa? Wajah kecil, berjalan dalam nada lirih, melangkah satu dua satu dua, menilik ke kanan dan ke kiri, kuku-kuku yang berselindung, bagaimana bisa? Ada apa? Rasanya ingin berteriak. Aku ingin bertanya, tapi hanya mata yang disisakannya. Ku tajamkan mataku, memusat pada dua cermin lain. Ku tengok matanya pedih, mulutnya terus mengunyah seraya air terjun dua cermin lain. Semua melakukan hal sama kecuali si hitam. Tatapnya kosong, beberapakali memasang wajah nanar. Wajah itu? Ada apa? Ba-bagaimana bisa?

 

Kami tertangkap mata, saling berpandangan. Dengan menahan sakit, aku bertanya dengan mataku. Si hitam hanya menggeleng dan mengeong lirih. “Maaf, kami kelaparan.” Dengan meringis aku hanya tersenyum? Senyum? Sebatas pikirku, tidak ada yang terukir. Sudah hilang. Sudah termakan.

 

Aku tak lihat si putih. Kucing liar yang penuh suka cita. Tidak ada yang tidak menyukainya. Bahkan seakan takdir bahwa ia terlahir untuk dicintai dan disayangi. Kemana dia? Jika ada dia, aku yakin ini tidak akan terjadi. Terasa sangat aneh karena biasanya ia yang membawa si hitam, si coklat, dan si oren. Tunggu!! Berapa banyak kucing-kucing jalanan yang memakanku?  Tiga!? Tunggu! Abu? Sejak kapan ada kucing abu!? Si abu ini rasanya familiar. Aku kenal matanya yang bersinar itu, tapi aku tak kenal warnanya. Buntutnya kenapa!? Kenapa berwarna merah seperti si bengis pesakitan?

 

Mungkinkah terjadi sesuatu? Aku kembali bertanya dengan sisa satu mataku. Si hitam mengerti, tertunduk dan seakan bergumam.

 

“Mereka bertemu dalam perjalanan menemuimu. Kami berempat tersesat dan kehausan. Sedang si bengis pesakitan yang dengan mudah mendapat semua itu memberi kami bantuan untuk menjawab panggilanmu. Hanya saja, si bengis pesakitan tidak ingin memberikan semua cuma-cuma. Ia memberi pilihan kepada kami, kami bisa aja minum dan bertemu denganmu segera dengan syarat salah satu dari kami harus menjadi wadah barunya.”

 

“Entah apakah sudah seputus asa itu si putih menyerahkan diri. Seketika si bengis pesakitan masuk dan mengeluarkan setengah dari ruh si putih. Apa kau bisa lihat? Aku masih berusaha membopongnya diatas punggungku.”

 

Setengah bola mataku menatap lebih dalam. Ya, aku melihat si putih yang terus-terusan minta maaf. Apa ini akhir dari semuanya? Jalanku sudah usai.

 

“BELUUUM!.” Jawab si bengis pesakitan. “LIHATLAH BAIK-BAIK, KAU TIDAK PERLU LAGI BANTUAN KAMI. KAU SUDAH SEPERTI KAMI. KAU BANGSAT TAPI RAPUH. KAU TERSENYUM TAPI MEMBENCI. KAU BERSIH TAPI BERBINTIK. TERIMALAH TUBUH BARUMU.”

 

Mendengar semua itu aku terdiam. Ku tatap tubuhku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. “Eh!?” aku kebingungan. Bukankah seharusnya aku hilang?

 

Ah... aku tau. Menjadi munafik, ya?

Selasa, 19 Januari 2021

36 Kata Baik

Selasa, 19 Januari 2021 (23 Tahun 7 Bulan 5 Hari)


36 Kata Baik

 

Ku mohon untuk tetap baik-baik saja. Sebagaimana hujan yang terus menusuk. Sebagaimana angin yang terus menghempas. Sebagaimana ombak yang terus menggulung. Sebagaimana petir yang terus menyambar. Sebagaimana matahari yang terus menyengat.

 

KAU HARUS BAIK-BAIK SAJA

 

Baik aku sebagai aku, baik aku sebagai kamu, baik aku sebagai dia, baik aku sebagai mereka.

Harus baik, harus selalu baik. Meskipun sakit yang tak berujung ini kian parah. Bahkan luka tak kunjung memberi masa untuk pulih dan beristirahat. Ku mohon untuk tetap baik.

 

Baik dalam keadaan dekat, baik dalam keadaan jauh. Baik dalam keadaan satu tuju, baik dalam keadaan berlawanan. Baik dalam keadaan besar, baik dalam keadaan kecil. Baik dalam keadaan luas, baik dalam keadaan sempit. Baik dalam keadaan sama, baik dalam keadaan berbeda.

 

Jangan menangis, ku mohon jangan menangis. Tolong simpan air mata untuk hal yang bahagia. Tolong simpan permohonan untuk mengampun kepada Tuhan. Tolong simpan rengekan untuk seseorang yang tepat dan menerima. Sesungguhnya semua berada dalam lingkup layak bagi yang seharusnya. Berhenti berpikir yang tidak baik. Baik sekejap. Baik semenit. Baik sejam. Baik sehari. Baik semalam. Baik seminggu. Baik sebulan. Baik setahun bahkan selamanya.

 

Tolong jangan terluka lagi, luka lama masih belum kering. Tolong jangan terluka lagi, masa kuat sudah diujung tanduk. Tolong jangan terluka lagi, semakin membesar koyakanmu.

 

Bagaimana caranya?

 

Berhenti berharap. Berhenti berharap ya! Tanpa ada harapan tak akan terluka lagi. Tanpa adanya harapan takkan kecewa lagi. Tanpa adanya harapan takkan ada lagi masa luruh luka dan larut dalam air mata.

 

Tersenyumlah sebagaimana pernah melakukannya. Dulu. Dimasa lalu. Dimasa yang sudah lewat. Sudah lampau. Sudah berlama-lama-lama-lama-lama sekali. Setidaknya ingat sedikit garisnya. Ingat sedikit bentuknya. Berkacalah! Iya baik. Kau melakukan dengan baik. Coba lebih lebar lagi. Iya lebih lebar lagi. Tidak-tidak kau salah, tidak dengan air mata. Tidak-tidak bukan seperti itu. Matamu. Senyum matamu mana? Jangan, ku mohon jangan lakukan lagi. Kau seram. Kau. Kau. Kau.

 

“KAU HARUS BAIK-BAIK SAJA.”