Aku "Aku" Alter Ego (23 Tahun 7 Bulan 2 Minggu)
Si aku berdiri diujung gang, meminta-minta dengan mata
tertutup. Bukan karena tunanetra, hanya sedang berusaha percaya pada apa yang
akan menggenggamnya. Akankah uluran tangan yang datang dari para kucing-kucing
jalanan ataukah tamparan dari si bengis pesakitan?
Entah, tanganku terasa dingin. Sesuatu seakan mencengkram lebih
jauh. Terasa tajam, kelam, penuh amarah. Ah, ku yakin si bengis pesakitan. Aku masih
tidak juga membuka mata. Dinginku bukan karena suhu yang masuk melainkan suhu
yang keluar. Semakin lama semakin kesulitan. Tubuh kaku yang tak lagi berpeluh
ini pun seakan dipatahkan. Krek! Satu! Krek! Dua! Krek! Krek! Krek! Krek!
Kr.... semakin hilang. Sedang yang aku punya menjadi tiga kali lebih banyak dan
tiga kali lebih kecil.
Si bengis pesakitan terus memakanku. Seakan-akan aku ini
adalah makanannya. Apa benar aku makanannya ataukah aku yang harus memakannya. Bertahan
hidup ternyata sesulit ini ya? Makan atau dimakan. Sakit atau disakiti. Tinggal
atau ditinggalkan. Benci atau dibenci. Ahh.. Aku hampir habis. Bagaimana bisa
aku hidup hanya dengan 316 sisa kecil-kecil? Kurcaci? Tidak-tidak, sepertinya
aku harus membuka mata. Apa? Apa aku salah lihat? Kenapa? Kenapa aku salah?
Kucing-kucing jalanan yang telah memakanku. Kemana si bengis
pesakitan? Bukankah dia yang memakanku? Bagaimana bisa? Wajah kecil, berjalan
dalam nada lirih, melangkah satu dua satu dua, menilik ke kanan dan ke kiri,
kuku-kuku yang berselindung, bagaimana bisa? Ada apa? Rasanya ingin berteriak. Aku
ingin bertanya, tapi hanya mata yang disisakannya. Ku tajamkan mataku, memusat
pada dua cermin lain. Ku tengok matanya pedih, mulutnya terus mengunyah seraya
air terjun dua cermin lain. Semua melakukan hal sama kecuali si hitam. Tatapnya
kosong, beberapakali memasang wajah nanar. Wajah itu? Ada apa? Ba-bagaimana
bisa?
Kami tertangkap mata, saling berpandangan. Dengan menahan
sakit, aku bertanya dengan mataku. Si hitam hanya menggeleng dan mengeong
lirih. “Maaf, kami kelaparan.” Dengan meringis aku hanya tersenyum? Senyum? Sebatas
pikirku, tidak ada yang terukir. Sudah hilang. Sudah termakan.
Aku tak lihat si putih. Kucing liar yang penuh suka cita. Tidak
ada yang tidak menyukainya. Bahkan seakan takdir bahwa ia terlahir untuk dicintai
dan disayangi. Kemana dia? Jika ada dia, aku yakin ini tidak akan terjadi.
Terasa sangat aneh karena biasanya ia yang membawa si hitam, si coklat, dan si
oren. Tunggu!! Berapa banyak kucing-kucing jalanan yang memakanku? Tiga!? Tunggu! Abu? Sejak kapan ada kucing
abu!? Si abu ini rasanya familiar. Aku kenal matanya yang bersinar itu, tapi
aku tak kenal warnanya. Buntutnya kenapa!? Kenapa berwarna merah seperti si
bengis pesakitan?
Mungkinkah terjadi sesuatu? Aku kembali bertanya dengan sisa
satu mataku. Si hitam mengerti, tertunduk dan seakan bergumam.
“Mereka bertemu dalam perjalanan menemuimu. Kami berempat
tersesat dan kehausan. Sedang si bengis pesakitan yang dengan mudah mendapat
semua itu memberi kami bantuan untuk menjawab panggilanmu. Hanya saja, si
bengis pesakitan tidak ingin memberikan semua cuma-cuma. Ia memberi pilihan
kepada kami, kami bisa aja minum dan bertemu denganmu segera dengan syarat
salah satu dari kami harus menjadi wadah barunya.”
“Entah apakah sudah seputus asa itu si putih menyerahkan
diri. Seketika si bengis pesakitan masuk dan mengeluarkan setengah dari ruh si
putih. Apa kau bisa lihat? Aku masih berusaha membopongnya diatas punggungku.”
Setengah bola mataku menatap lebih dalam. Ya, aku melihat si
putih yang terus-terusan minta maaf. Apa ini akhir dari semuanya? Jalanku sudah
usai.
“BELUUUM!.” Jawab si bengis pesakitan. “LIHATLAH BAIK-BAIK,
KAU TIDAK PERLU LAGI BANTUAN KAMI. KAU SUDAH SEPERTI KAMI. KAU BANGSAT TAPI
RAPUH. KAU TERSENYUM TAPI MEMBENCI. KAU BERSIH TAPI BERBINTIK. TERIMALAH TUBUH
BARUMU.”
Mendengar semua itu aku terdiam. Ku tatap tubuhku dari ujung
kaki sampai ujung rambutku. “Eh!?” aku kebingungan. Bukankah seharusnya aku
hilang?
Ah... aku tau. Menjadi munafik, ya?