Jatuh Cinta dan Pernikahan (27 Tahun 6 bulan 1 Minggu 4 Hari)
Salah satu hal yang
aku pelajari setelah mencintai di usia dewasa adalah, kita seringkali tidak
diberi kesempatan untuk mencintai dengan dasar rasa. Perasaan seakan-akan tidak
lagi murni. Banyak pertimbangan dalam mencintai. Rasa tidak lagi menjadi nomor
satu dalam perasaan. Mencintai di masa dewasa terlalu berat, seakan tidak cukup
hanya dengan rasa berbalas. Logika kerap ikut andil dalam realisasi rasa suka. Mungkin
ini lebih banyak dialami oleh orang-orang yang jatuh cinta untuk tujuan
menikah.
Dahulu aku seringkali
bertanya-tanya, bagaimana bisa orang menikah tanpa ada rasa cinta? Tanpa rasa
suka? Bagaimana bisa menjalani rumah tangga tanpa itu semua? Ternyata memang
pertimbangan lain lebih banyak daripada rasa itu sendiri. Ada yang menikah
karena memang satu bidang pekerjaan, secara komunikasi lebih nyambung. Ada
yang menikah karena sudah lama berteman, yang setelah dipikir ‘Oh, ternyata boleh
juga menikah sama kamu, asik juga kita udah kenal lama.’. Ada pula yang menikah
karena kepentingan lain yang ternyata saling terkait. Apapun alasannya, cinta
tidak jadi dasar utama.
Apakah ada yang
menikah karena dasar cinta? Tentu ada. Hal ini berkemungkinan terjadi karena
boleh jadi mereka sudah saling jatuh cinta, lalu secara pertimbangan dalam banyak
aspek masuk, menikahlah. Ada, tapi tidak banyak. Dalam kesendirianku saat ini,
aku pun masih menduga-duga pernikahan seperti apa yang akan aku jalankan,
karena sepengetahuanku selain semua pertimbangan, ada pula toleransi terhadap
kelebihan/kekurangan maupun keadaan masing-masing pihak. Cinta tidak lagi murni
dan tak beralasan. Cinta seperti sebab akibat. Cinta dapat memberikan sebab,
dapat pula karena suatu akibat. Seakan-akan semua hal yang dilakukan oleh orang
dewasa selalu berkaitan dengan rasa tanggung jawab. Tidak bisa lagi sebatas
suka seperti di masa sekolah, saling suka lalu pacaran, pergi ke tempat baru,
nonton film/konser musik kesukaan. Semuanya seperti dituntut untuk bertanggung
jawab.
Tidak bisa bersatu
karena satu dan lain hal, keadaan memaksa perpisahan atau bahkan jarak, waktu
yang tidak mengizinkan untuk bersama sama sekali adalah mimpi buruk. Sayangnya,
salah satunya aku alami. Jika hanya mengikuti hati, jelas, aku menginginkan
seseorang. Kalau bertanya hati tanpa pertimbangan keadaan, masa, orang lain, bahkan
tanpa memikirkan apakah perasaan ini terbalas atau tidak, jelas aku
menginginkan seseorang, namun apa daya. Aku mengaku kalah.
Dalam berbagai macam
aspek aku kalah. Bahkan rasanya tidak ada yang dapat aku unggulkan. Dia pun sepertinya
tidak menyadari ada perasaan yang tumbuh sepanjang masa yang kita habiskan
bersama. Masa dimana saling bercerita, bertukar pikiran, saling berkeluh kesah,
melakukan hobi bersama, saling marah karena sikap maupun sifat masing-masing,
lalu kembali berkompromi. Saling melempar kasih (bagiku), meskipun baginya
hanya sebatas perhatian yang dapat dilakukan kepada banyak orang. Secara batas-batas
tertentu, entah waktu maupun jarak, aku jelas kalah telak.
Pada akhirnya aku
memilih menunggu orang yang menginginkanku dengan setulus hatinya. Setidaknya
jika perasaanku belum sebesar apa yang diberikan orang itu, aku bisa merasakan
bahwa ternyata aku pantas, boleh dan layak untuk dicintai. Terlebih, tentunya..
dengan cara cinta orang dewasa. Mencintai dengan penuh pertimbangan dan
kompromi. Cinta yang dibangun tidak hanya mengutamakan perasaan, melainkan
logika.