Selasa, 24 Desember 2024

Jatuh Cinta dan Pernikahan

 Jatuh Cinta dan Pernikahan (27 Tahun 6 bulan 1 Minggu 4 Hari)

 

Salah satu hal yang aku pelajari setelah mencintai di usia dewasa adalah, kita seringkali tidak diberi kesempatan untuk mencintai dengan dasar rasa. Perasaan seakan-akan tidak lagi murni. Banyak pertimbangan dalam mencintai. Rasa tidak lagi menjadi nomor satu dalam perasaan. Mencintai di masa dewasa terlalu berat, seakan tidak cukup hanya dengan rasa berbalas. Logika kerap ikut andil dalam realisasi rasa suka. Mungkin ini lebih banyak dialami oleh orang-orang yang jatuh cinta untuk tujuan menikah.

 

Dahulu aku seringkali bertanya-tanya, bagaimana bisa orang menikah tanpa ada rasa cinta? Tanpa rasa suka? Bagaimana bisa menjalani rumah tangga tanpa itu semua? Ternyata memang pertimbangan lain lebih banyak daripada rasa itu sendiri. Ada yang menikah karena memang satu bidang pekerjaan, secara komunikasi lebih nyambung. Ada yang menikah karena sudah lama berteman, yang setelah dipikir ‘Oh, ternyata boleh juga menikah sama kamu, asik juga kita udah kenal lama.’. Ada pula yang menikah karena kepentingan lain yang ternyata saling terkait. Apapun alasannya, cinta tidak jadi dasar utama.

 

Apakah ada yang menikah karena dasar cinta? Tentu ada. Hal ini berkemungkinan terjadi karena boleh jadi mereka sudah saling jatuh cinta, lalu secara pertimbangan dalam banyak aspek masuk, menikahlah. Ada, tapi tidak banyak. Dalam kesendirianku saat ini, aku pun masih menduga-duga pernikahan seperti apa yang akan aku jalankan, karena sepengetahuanku selain semua pertimbangan, ada pula toleransi terhadap kelebihan/kekurangan maupun keadaan masing-masing pihak. Cinta tidak lagi murni dan tak beralasan. Cinta seperti sebab akibat. Cinta dapat memberikan sebab, dapat pula karena suatu akibat. Seakan-akan semua hal yang dilakukan oleh orang dewasa selalu berkaitan dengan rasa tanggung jawab. Tidak bisa lagi sebatas suka seperti di masa sekolah, saling suka lalu pacaran, pergi ke tempat baru, nonton film/konser musik kesukaan. Semuanya seperti dituntut untuk bertanggung jawab.

 

Tidak bisa bersatu karena satu dan lain hal, keadaan memaksa perpisahan atau bahkan jarak, waktu yang tidak mengizinkan untuk bersama sama sekali adalah mimpi buruk. Sayangnya, salah satunya aku alami. Jika hanya mengikuti hati, jelas, aku menginginkan seseorang. Kalau bertanya hati tanpa pertimbangan keadaan, masa, orang lain, bahkan tanpa memikirkan apakah perasaan ini terbalas atau tidak, jelas aku menginginkan seseorang, namun apa daya. Aku mengaku kalah.

 

Dalam berbagai macam aspek aku kalah. Bahkan rasanya tidak ada yang dapat aku unggulkan. Dia pun sepertinya tidak menyadari ada perasaan yang tumbuh sepanjang masa yang kita habiskan bersama. Masa dimana saling bercerita, bertukar pikiran, saling berkeluh kesah, melakukan hobi bersama, saling marah karena sikap maupun sifat masing-masing, lalu kembali berkompromi. Saling melempar kasih (bagiku), meskipun baginya hanya sebatas perhatian yang dapat dilakukan kepada banyak orang. Secara batas-batas tertentu, entah waktu maupun jarak, aku jelas kalah telak.

 

Pada akhirnya aku memilih menunggu orang yang menginginkanku dengan setulus hatinya. Setidaknya jika perasaanku belum sebesar apa yang diberikan orang itu, aku bisa merasakan bahwa ternyata aku pantas, boleh dan layak untuk dicintai. Terlebih, tentunya.. dengan cara cinta orang dewasa. Mencintai dengan penuh pertimbangan dan kompromi. Cinta yang dibangun tidak hanya mengutamakan perasaan, melainkan logika.