Minggu, 19 Agustus 2018

Mencapai Ambang Batas


Minggu, 19 Agustus 2018 (21 Tahun 2 bulan 4 hari) beberapa jam lagi

Oke! Pertama kita mulai dulu dengan menyapa semua yang ada disini. “Halo! Apa kabar semuanya?” setelah sekian lama tidak menulis akhirnya memutuskan untuk menulis (lagi). Apa topik bahasan kali ini? Yap! Perihal dunia yang menyakitkan ini (lagi?).
Aku selalu mencoba untuk menahan air mataku, hingga kini. Tapi sesuatu terjadi pada Selasa, 14 Agustus 2018 nenekku (dari papa) meninggal dunia. Kenapa beliau meninggal? Karena takdir tentunya. Menyebalkan bukan? Ketika ada orang yang berusaha mati-matian untuk tidak meninggal, aku disini terus memikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa meninggal dengan cepat dan tidak membekas. Kalau membekas di tubuhku sih ya gapapa, tapi kalau membekas di hati orang? Hahaha tak akan. Aku yakin itu.
Pertanyaan muncul tepat sebelum nenek meninggal adalah, “D***, bisa gak kalau nyawa ditukar? Kalau bisa, gua mau emak (panggilan untuk nenek dari papa) sehat lagi dan gua yang mati?” itu benar-benar aku ucapkan. Tapi apa? Beliau benar-benar meninggal dan aku tetap didunia ini. Menyakitkan.
Menurut kalian apakah aku tidak bersyukur? Ya terserahlah. Aku tau banyak diluaran sana yang berharap bisa tetap hidup. Berjuang dan terus berjuang. Makan ini, minum itu dan lain hal sebagainya dilakukan hanya untuk tetap hidup. Tapi aku dengan mudahnya minta “dimatikan”. Hahahaha… menurut kalian yang merasa benar untuk bersyukur karena tetap hidup, tau ga rasanya berjuang dalam kesendirian? Kalian-kalian yang merasa bahwa kesendirian adalah tentang tidak ada seseorang yang ada diantara kalian akan merasa bahwa aku ini terlalu ‘lebay’ dalam menghadapi sesuatu. Maaf ya, sendirian bukan tentang tanpa orang disekitar kamu secara nyata, sendirian adalah tentang sebanyak apapun manusia berada disekitar kalian, tapi kalian tidak merasa ada disekitar mereka. Kami yang merasa sendirian, dibuang oleh kalian wahai kaum ramai. Hahahahahaha.. jadi berhenti merasa sudah baik dengan mendekati kami yang merasa sendiri ini. Memang ini mau kami? Tidak! Kami tidak pernah ingin seperti ini. Boleh egois? Kalian yang membuang kami terlebih dahulu. Jadi jangan beranggapan bahwa kami berlebihan. Perasaan ini muncul begitu saja. Memuncak dan lama-lama mencuat keluar. Dan yang menyakitkan, tidak keluar seperti bom yang meledak, tapi seperti kawanan semut yang berbaris keluar dari lubangnya. Satu… satu… satu… berbaris seperti itu. Dan itu sangat menyakitkan, tahu!
Perjuangan melawan perasaan bersalah ini masih berlanjut sampai sekarang, dan aku benar-benar tidak kuat. Aku harus apa? Aku menyerah. Aku benar-benar menyerah. Tapi, jika aku mematikan diriku sendiri, neraka sudah membuka pintu dan berkata “tempatmu disini, bersama kami.” Dan jika aku tetap berjuang melawan perasaan ini, neraka tetap terbuka karena aku sering mengutuk diriku, mengutuk perbuatanku, dan terus seperti ini.
Seandainya saja, ada yang mengatakan padaku setidaknya beberapa kalimat yang baik TANPA KATA TAPI, mungkin itu bisa membantu. “Kau sudah berjuang, val!” cukup. Tanpa embel-embel tapi. “Kau sudah berjuang, tapi kau bisa melakukan lebih lagi.” Tekanan seperti itu yang membuatku berjalan sendiri. Perasaan ini berlanjut entah sampai kapan. Aku memang hidup, tapi hatiku sudah mati entah sejak kapan. Aku masih bisa menangis, tapi air mataku tidak semurni dulu. Jika ada alasan mengapa aku menangis, aku akan menangisi banyak hal. Semua sakitku menjadi satu dan menangis. Bukankah itu bukan tangisan yang murni lagi? Mengapa orang begitu sibuk menangis karena satu hal dan aku menangis dengan pikiran liar yang ada di otakku. Hai, anak tidak berguna? Sudahkah jasadmu benar-benar mati?