Selasa, 11 Oktober 2016 (19 tahun 3 bulan 3 minggu 4 hari)
Usiaku tidak muda lagi. Hal yang ku putuskan saat ini bisa membantuku
atau menghancurkanku di masa depan. Ketika semua orang berpikir untuk mengejar
cita-citanya, aku hanya hidup tanpa tujuan. Aku terus memandangi ponselku di
masa luangku yang amat banyak ini. Aku terdiam, kembali termenung. Bukan materi
pelajaran yang sedang ku baca, namun sesuatu yang menyangkut “social media”
banyak orang. Lalu untuk apa aku terdiam dan termenung. Entahlah, bahkan sampai
saat aku menulis postingan ini, aku merasa tidak sepenuhnya menyatu dalam
tulisan. Ada begitu banyak keraguan didalamnya. Ya, tidak biasanya.
Noval Firyallian Pristi, seseorang yang 90 % selalu menyatu
dalam tulisannya… kini menjadi pribadi yang lain. Biasanya aku tidak seperti
ini. Apapun yang ada dipikiranku, akan ku tulis. Namun karena pikiran yang
menggangguku, beberapa kali aku mengedit tulisan ini sebelum aku benar-benar
mempostingnya.
Bahasanku kali ini, mengenai kepercayaan diri. Apasih kepercayaan
diri itu? Narsisme kah? Atau hanya ilusi yang mendorong kita melakukan sesuatu
yang kita percayai? Ah… bahkan sampai memposting ini pun aku benar-benar tidak
paham arti dari kepercayaan diri. Makna yang terkandung di dalamnya tak bisa ku
resapi sama sekali.
Sudah lama sekali rasanya tidak memposting tulisanku ya,
meskipun banyak hal yang terjadi dalam dunia terhadapku ini. Sebelumnya, aku
akan menceritakan kemana saja aku selama ini. Ini tidak penting, namun aku rasa
aku perlu menceritakannya.
1 tahun lalu, setelah kegagalanku untuk menjadi mahasiswi
psikologi di UNPAD atau di Jepang tidak terwujud, aku memutuskan untuk tidak
menuliskan hal konyol lagi di blogku ini. Bahkan, aku hampir saja menutup
account blog ini. Karena aku sangat malu terhadap keinginanku yang
menggebu-gebu. Bahkan sampai berpikir untuk mengakhiri hidupku. Bukan dengan
cara gantung diri, menyayat nadi, ataupun meminum racun… tapi dengan terus
menyendiri, dan meminum obat-obat yang sebenarnya tidak ku perlukan. Hahaahaha,
hal ini tidak boleh dicontoh ^^~. Aku frustasi, aku sampai berpikir, salahku
dimana lagi? Aku sudah mencoba melupakan mimpi utamaku menjadi dokter ahli
penyakit dalam, karena aku tahu menjadi dokter saja aku tak mampu… jadi
bagaimana mungkin mimpi utama ku terwujud. Setelah itu, aku mencoba mencari
cita-cita yang lain, menjadi seorang psikolog lulusan UNPAD atau Jepang? Nihil juga.
Dan sekarang? Aku hanya menjalani apa yang ada saja. Ya ikuti saja. Ya jalani
saja. Ya tenang saja. Itu yang ada dalam pikiranku saat ini.
Kembali kepada pembahasan, kepercayaan diri. Semakin bertambah
usiaku, aku semakin kehilangan kepercayaan diri. Aku tahu bahwa kepercayaan
diri itu datang dari dalam diri tentunya. Namun lingkungan dan orang yang
dianggap penting sangat berpengaruh kan? Lalu bagaimana jika lingkungan saja
tidak mempedulikan?
Disini aku hanya ingin sharing. Pertama, aku adalah anak
kedua. Ketika usiaku sekian bulan, ibuku hamil lagi dan membuat aku dan adikku
hanya berbeda 1 tahun 2 bulan. Selain itu, karena kami berbeda gender, aku
merasa tidak ada salahnya jika kami menjadi kakak beradik. Dan setelah lahir
adikku yang lain, dengan gender sama denganku. Aku merasa terancam. Aku merasa
bahwa aku tak akan bisa mendapatkan kasih sayang yang sama ketika aku menjadi ‘anak
perempuan satu-satunya’. Perasaanku yang merasa ‘diabaikan’ sejak kelahiran
adik laki-lakiku semakin menjadi. Aku semakin menjadi ‘pendiam’ (menyembunyikan
segala hal dalam hidupku). Aku hanya menceritakan hal yang sebenarnya tidak
perlu. Aku bahkan tidak sanggup bercerita bahwa aku dibenci banyak orang sejak
kelas 5 SD. Aku bahkan lebih memilih menghancurkan diriku dan barang yang ada
disekitarku ketika aku tak mendapat apa yang ku mau. Aku juga tidak sanggup
meminta kedua orang tuaku untuk memelukku. Dan pada akhirnya… aku hanya
mempunyai kekuatan untuk memberikan umpatan kejam kepada orang lain lewat
kalimat ‘halus’. Aku, menjadi diriku yang kejam. Diriku yang tersenyum kepada
banyak orang, dan mengumpat dalam hati. Aku merusak diriku sendiri. Merusak hatiku
sendiri. Merusak tubuhku sendiri. Dan merusak… jiwaku sendiri. Bahkan aku
seringkali bertanya, apakah jiwaku ini masih hidup?
Menjadi kakak di usia 1 tahun dua bulan membuatku mengalami
banyak pergeseran kepribadian. Di usia itu yang seharusnya aku masih
bermanja-manja, aku harus dengan cepat mengerti bahwa aku sudah menjadi seorang
kakak. Di usiaku yang seharusnya diberi perhatian lebih, aku harus mengerti
bahwa aku tetap mendapatkannya, hanya saja aku harus berbagi. Padahal, berbagi
itu sangat sulit untuk dilakukan oleh anak di usia 1 tahun…
Dalam beberapa buku yang ku percayai, mengenai hal reward & punishment. Aku merasa
bahwa orang tuaku mendidik aku dan adikku (baik laki-laki maupun perempuan)
dengan cara yang berbeda. Ketika aku membuat ‘prestasi’, aku merasa tidak
diberikan reward karena reward yang diberikan kepada kedua
adikku dengan prestasi yang sama, jauh lebih besar dari apa yang aku dapatkan. Sedangkan
ketika kami melakukan ‘kegagalan’ dengan hal yang sama, aku mendapat ‘punishment’
yang lebih besar. Bahkan aku masih ingat kalimat yang sering dilontarkan ketika
aku mengalami kegagalan. “Karena **** yakin, kamu dapat melakukan hal itu.” Kalimat
itu memang memotivasi, tapi tatapan mata dan pengucapannya… aku tidak yakin itu
motivasi.
Seiring dengan kegagalan yang terjadi, aku semakin terpuruk.
Tidak ada lagi kepercayaan diri. Bahkan, lebih banyak penyesalan mengapa aku
terlahir. Sepertinya mereka tidak sadar, bahwa aku pun ingin diperlakukan
seperti kedua adikku itu. Yang dengan mudahnya mendapat reward dan sangat jarang sekali mendapatkan punishment. Sigh, sepertinya aku benar-benar muak.
Usiaku sudah 19 tahun. Banyak juga perempuan yang memutuskan
untuk menikah diusia ini. Tidak aneh jika banyak yang menikah muda… ya ini
hanya untuk ibu muda. Jika memang kalian mau punya anak, cobalah untuk memberi ‘space’
bagi anak pertama kalian. Jika memang diberikan adik dengan rentang waktu yang
sama denganku, cobalah untuk tetap bersikap adil. Jangan melihat anak pertama
mu selalu sebagai kakak. Dan jangan pula melihat anak keduamu sebagai adik. Tapi
lihat mereka sebagai anakmu. Berikan reward
& punishment yang sama. Berikan kasih sayang yang sama. Usahakan untuk
tidak mengeluarkan kalimat “Kakak harus mengerti adik” atau kalimat semacamnya.
Tanamlah kepercayaan diri yang utuh agar ia menjadi anak yang kuat jiwa dan
terbuka. Jika kalian membiarkan anak kalian merasakan seperti aku, mungkin
kalian akan melihat bahwa anak pertama kalian akan menutup diri rapat-rapat,
sehingga mencari kasih sayang yang lain. Jika anak kedua kalian diperlakukan
seperti adikku, mungkin kalian akan mendapatkan anak yang sangat lemah dan
selalu merasa akan diutamakan, dan akan marah jika tidak.
Yaaa…. Sekian