Minggu, 08 Juni 2014

Pemicu Pertengkaran

Minggu, 8 Juni 2014 (16 tahun 11 bulan 3 minggu 1 hari)

Aku gak tahu apa yang terjadi sama aku sekarang. Rasanya, ada yang aneh. Ada yang ganjal. Ada yang gak bisa dijelasin dengan kata-kata. Ini aneh, rasanya berakar di otak. Entah apa itu.Kadang menghambat kerja jantung, akhirnya darah terasa tak mengalir. Tubuhku dingin, wajahku pucat, beberapa bagian tubuhku tak bisa ku gerakan. Tak bisa ku kendalikan. Kadang menghambat kerja paru-paru, akhirnya O2 tak ku dapat dan CO2 terus menetap. Hingga aku sesak, wajahku setengah biru, tanganku mulai kaku. Sesak yang begitu menyiksa.Bahkan kadang, membisukan lidahku. Membuyarkan pandanganku. Menutup rapat pendengaranku. Ada apa denganku?

Bagaikan manusia tanpa harapan. Semenjak semuanya berubah. Mungkinkah ini garis takdirku? Aku tak tahu. Aku harus berkata apa. Aku sesak. Aku sakit. Aku pilu. Miris. Memilukan. Kacau. Nyeri. Pandanganku kabur. Bahkan tatapanku seperti tak berjiwa. Jiwaku seakan ada di tempat lain. Sedang dipermainkan ditempat lain. Dipukul. Diracun. Dicambuk. Dicekik. Siapa yang membuatku begini? Aku.

Entah haruskah aku mengatakan ini pada papa dan mama. Tapi rasanya percuma. Karena yang ku rasa hanya keributan yang terjadi di batinku. Keributan yang terjadi karena ulahku. Dua jiwa yang ingin merenggut tubuhku ini tak dapat bersatu. Mereka menuntut tempat terbanyak dari tubuh ini. Dua jiwa, sebut saja Putri dan Anna.

Putri berkata “Diam”. Anna berkata “Kau harus melawannya!”. Jiwaku dingin menatap mereka. Perih rasanya. Putri menggenggamku. Anna melakukan hal yang sama. Mereka pun menarik jiwaku. Saling memperebutkan. Jiwa-jiwa yang konyol. Apa untungnya mereka didalam tubuh yang isinya penyakit-penyakit mematikan seperti ini. Konyol! Ini gila namanya.

Ketika semua ini terjadi, Putri berkata. “Diamlah, tersenyumnlah.” Anna datang dengan suara memekik ditelinga. “Jangan diam! Mau sampai kapan kamu begini?”
Putri menggeleng cepat. “Tidak, kau salah. Lebih baik dia melupakan semuanya.” Anna menjambak Putri. “Sampai kapan kau biarkan jiwa wanita ini menjadi lemah dan hidup dengan kepura-puraan!?” Putri menepis. “Biarkan jiwanya yang memilih. Bagaimana ia bersikap. Kita disini hanya membantunya berdiri jika ia rapuh.”

Anna menggelengkan kepalanya. “Tapi sikap diam dan tersenyum hanya membuatnya tenggelam lalu hilang!”

Putri tersenyum. “Lebih baik tenggelam dalam kesedihan untuk muncul dengan jiwa yang lebih baik daripada harus terbang dengan hati yang keras, licik dan picik.”

Jiwaku, jiwaku, jiwaku. 16 tahun sudah membiarkan tiga jiwa ditubuhku. Beginilah jika aku memiliki perasaan berlebihan. Lebih senang, lebih sedih, lebih sakit, lebih bahagia, lebih kecewa, akan ada tiga jiwa yang bertengkar dalam tubuhku. Jiwaku, Putri dan Anna. Mereka benar-benar nyata. Mereka ada. Mereka benar-benar hidup di ragaku. Inilah mengapa aku bagaikan bunglon. Di dalam ragaku, ada tiga jiwa yang menetap. Dan sekarang, mereka saling menyerang. Menjatuhkan. Merugikan ragaku. Aku jadi cemas, diam, menangis, marah, murung, dan semoga saja ini tidak berkelanjutan sampai aku gila.

Jiwa-jiwa yang menumpang, ku mohon hentikan pertengkaran yang merugikan tubuhku ini. Ku mohon.