Jum’at, 30 Mei 2014
16 tahun, 11 bulan, 2 minggu, 2 hari. Aku semakin muak, semakin kesel, semakin sebel, semakin benci, semakin, semakin, semakin. Pertanyaanku tetap sama, tetap sama seperti sebelumnya. Jadi, apa bakatku? Aku gak pernah tahu di posisi manakah aku sebenarnya?
Drs. Dadi Supriadi, pria yang menjadi ayahku ini jelas-jelas berbakat di bidang hitung menghitung. Sejak SMA, memang suka berhitung. Bisnis, sebenernya papa bisa berbisnis, tapi sayang aja kurang menekuni. Sekarang, papa sebagai PNS. Wakasek Sarana di SMAN 1 Kota Tangerang Selatan. Ya, di sekolahku! Papa bilang, saat SMA papa masuk jurusan IPA. Karena matematika katanya dari IPA. Papa lulusan UNSIL, Tasikmalaya.
Iis Nurhayati, M.pd. Wanita ini adalah ibuku yang pernah jadi guru di SMAN 3 Kota Tangerang Selatan, sebagai guru Biologi. So, mama pun PNS. Denger-denger, mama jadi guru Biologi Billingual gitu, jadi pake bahasa Inggris. Di rumah, ada buku karya entahlah itu siapa namanya yang bukunya setebel dua tiga kamus dengan ukuran lebih panjang dari kamus. Awalnya mama mau jadi dokter, tapi kakek lebih setuju mama jadi guru. Masuklah mama ke UNPAD, fakultas Biologi Pendidikan.
Nah, keduanya sama-sama jurusan IPA. So, anak-anaknya pun digiring seperti domba untuk masuk IPA. Padahal jelas-jelas aku lebih cinta mapel IPS dibanding IPA yang bisa bikin mood aku ancur seminggu.
Sebenernya aku udah tahu bakatku apa. Sastra. Ya, aku berbakat di sastra. Seni puisi, menulis, pembelajaran bahasa baru, aku lebih mudah disana. Bahasa Jepang dan Bahasa Arab menjadi tamengku. Kalo bahasa Inggris, hmm karena aku gak tertarik jadi gak nguasain *alasan wkwkw*.
Sejak SD, aku sering ikut lomba puisi. Nah dari sana aku tahu bahwa ini bidangku. Terus, di SMP aku mulai tertarik sama novel, dan akhirnya memutuskan untuk bikin novel. Ya walaupun gak berani ngirim sih hehe. Di SMA ini sedikit berbeda. Kelas 1 aku ikut lomba Mengarang Bahasa Arab. Di kelas 2 aku lomba Pidato Bahasa Jepang. So, kalo dari semua itu udah jelas kalo jiwaku tuh ya sastra. Dan yang bikin aku sedih, papa dan mama kayak gak dukung. Mungkin yang mereka mau aku tuh bahasa Inggris, atau matematika, atau biologi. Atau mungkin fisika, kimia! Hah, kapan sih mereka menghargai bakatku? Udah bagus punya bakat, daripada gapunya:( tapi mereka seakan gak bersyukur punya anak bakat sastra. Aku tuh kayak dituntut lebih. Disuruh jadi dokterlah, akuntanlah, dan gak boleh masuk sastra kecuali sastra Inggris.
Kadang aku jadi mikir aneh. “Anak siapa aku?” ketika Matematika+Biologi = Sastra (?) Dengan begitu aku jadi menyimpulkan bahwa hukum Genetika, Hereditas, Mendel dan apalah itu gak terjadi pada keluargaku._. kenapa aku harus jadi tingkat presentase terkecil. Oke, maksud yang ini adalah. Ketika keluargaku dominan bergolongan darah B, aku justru A.
Papa : B
Mama : AB
Nurkholis Abellian Pristi : B
Aku : A
Fadhellian Azqia Pristi : B
Camila Arsyallian Pristi : B
Bintan Hazellian Pristi : B
Kenapa aku harus dapet gen resesif?? Argghhh._. Pa, Ma, Mengapa aku berbeda? Kayak judul film._.
Papaku, mamaku yang tercinta. Aku cuma mau antusiasme kalian sedikit aja kalau aku ikut lomba di bidang sastra. Sampai kapan kalian menuntutku untuk menjadi kalian atau diantara kalian. Tapi kenapa Fadhel yang lomba paskibra selalu kalian banggakan. Apa gak seberharga itukah bakat aku dimata kalian? Apa serendah itukah bakat aku dimata kalian?
Menulis bukan tentang berkhayal, menulis bukan tentang menggabungkan kata-kata. Biologi, Matematika, dan pelajaran lainnya gak akan pernah bisa dijelaskan tanpa adanya sastra, tata bahasa. :’)
“Kesuksesan bukan hanya tentang seberapa hebat kamu, karena pada akhirnya kesuksesan hanya tentang kapan, dimana, dan siapa yang beruntung.”